Skip to Main Navigation
ARTIKEL05 Juni 2024

Aksi Iklim yang Membawa Perubahan: Kisah Hutan dari Indonesia

The World Bank

Hutan tropis di Indonesia menjadi sumber pangan, bahan bakar, tempat tinggal, dan penghidupan bagi lebih dari seperlima penduduk negara ini. Selain itu, hutan juga menjadi sumber daya yang penting dalam upaya melawan perubahan iklim.

Akan tetapi, sebagian masyarakat yang bergantung kepada hutan Indonesia, yang merupakan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, sebagai sumber mata pencaharian, masih menghadapi kesulitan ekonomi seperti tingkat kemiskinan yang tinggi dan masih terbatasnya peluang untuk menggarap lahan di sekitar hutan.

Program Reforma Agraria Pemerintah Indonesia berupaya untuk mengurangi kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi pedesaan dengan memberi akses legal hak pengelolaan kawasan hutan kepada masyarakat lokal dan masyarakat adat. Program Perhutanan Sosial, yang diluncurkan pada tahun 2015, menjadi langkah penting untuk mencapai target tersebut.

Program Perhutanan Sosial berupaya untuk memberi hak pengelolaan secara legal kawasan hutan negara seluas 12,7 juta hektare kepada masyarakat agar mereka dapat mengelola hutan secara lestari sebagai sumber mata pencaharian dan upaya pelestarian hutan. Hingga akhir tahun 2023, hampir 10.000 izin Perhutanan Sosial telah diterbitkan di seluruh Indonesia, meliputi area seluas 6,4 juta hektare, yang mencakup 251.000 hektare hutan adat (yakni hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat).

Secara bertahap, inisiatif ini telah memberdayakan masyarakat adat maupun masyarakat setempat untuk mengelola hutan secara lestari, sehingga dapat berkontribusi terhadap perlindungan iklim dan peningkatan mata pencaharian.

Menciptakan Ekowisata yang Berfokus pada Hutan

Muhammad Yahdi, yang dikenal sebagai Uda Yadi, bersama dengan kelompok masyarakat di Taram Nagari, Sumatera Barat, menginisiasi proyek agroforestri dan ekowisata inovatif yang berfokus pada kawasan hutan sekitar setelah Kesatuan Pengelolaan Hutan Nagari Taram memperoleh izin perhutanan sosial pada tahun 2017. Dengan izin ini, masyarakat adat dan masyarakat lokal diberi kepercayaan untuk mengelola secara lestari 800 hektare lahan hutan pristin alami yang telah dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata dan agroforestri.

The World Bank

Pengunjung kawasan ekowisata di Taram Nagari, Sumatera Barat. Foto: Proyek Strengthening of Social Forestry (SSF)

Menciptakan Ekowisata yang Berfokus pada Hutan

Muhammad Yahdi, yang dikenal sebagai Uda Yadi, bersama dengan kelompok masyarakat di Taram Nagari, Sumatera Barat, menginisiasi proyek agroforestri dan ekowisata inovatif yang berfokus pada kawasan hutan sekitar setelah Kesatuan Pengelolaan Hutan Nagari Taram memperoleh izin perhutanan sosial pada tahun 2017. Dengan izin ini, masyarakat adat dan masyarakat lokal diberi kepercayaan untuk mengelola secara lestari 800 hektare lahan hutan primer yang telah dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata dan agroforestri.

Inisiatif ekowisata di Taram Nagari berkembang pesat dengan dukungan masyarakat adat. Mereka membangun infrastruktur penting, seperti trotoar dan warung makan yang terawat dengan baik. Kawasan ekowisata yang menawarkan berbagai atraksi, seperti hutan pinus, pemandian air terjun, dan hutan yang tenang, menjadi surga bagi para pencinta alam. Pendekatan lestari yang diterapkan tidak hanya menghasilkan pendapatan bagi masyarakat setempat tetapi juga melestarikan hutan.

Melalui kegiatan promosi strategis dan pemasaran di media sosial, kawasan ekowisata ini menghasilkan pendapatan harian sekitar Rp50 juta (sekitar US$3.200) saat puncak musim liburan. Keberhasilan ini telah secara signifikan meningkatkan jumlah pengunjung, dari 70.000 pengunjung pada tahun 2018 menjadi 260.000 pengunjung pada tahun 2021.

Akan sangat disayangkan jika ekowisata Taram tidak dikembangkan, karena lokasinya strategis dan kita dapat mengelola hutan secara lestari untuk menopang sosio-ekonomi masyarakat di Nagari Taram
Fatimetou Mint Mohamed
Uda Yadi
Taram Nagari, Sumatera barat
The World Bank

Penjual makanan ringan jamur krispy. Foto: proyek Strengthening of Social Forestry (SSF)

Melihat keberhasilan ekowisata, anggota masyarakat yang sebelumnya melakukan penebangan liar kini beralih ke mata pencaharian yang berkelanjutan di sektor ekowisata.  Selain itu, masyarakat juga telah melakukan diversifikasi ke bisnis agroforestri dengan mengeksplorasi berbagai komoditas seperti kakao, jamur, karet, kelapa, buah-buahan, rotan, dan hasil hutan bukan kayu lainnya.

Mengeksplorasi Jahe dan Rotan: Menuju Mata Pencaharian Berkelanjutan dan Pelestarian Hutan

Di Provinsi Maluku Utara, Indonesia, Mancelina Lobby (Kepala Desa Todowongi) memimpin model usaha berbasis masyarakat setelah memperoleh izin perhutanan sosial pada bulan Desember 2021. Dengan izin tersebut, masyarakat dapat secara bertanggung jawab mengelola kawasan hutan negara seluas 495 hektare. Izin perhutanan sosial juga membuka peluang usaha seperti memproduksi minuman jahe merah dan furnitur yang terbuat dari rotan.

Menyadari manfaat jahe merah bagi kesehatan, penduduk desa Todowongi telah membudidayakan jahe merah di kawasan hutan negara secara turun-temurun. Melalui izin perhutanan sosial dan dengan meningkatkan kapasitas masyarakat, mereka berhasil memodernisasi metode produksi, meningkatkan nilai tambah jahe merah, dan mengembangkan sumber pendapatan. Selain itu, izin tersebut juga melegalkan panen rotan, sehingga masyarakat dapat mulai membuat dan menjual furnitur yang terbuat dari rotan.

The World Bank

Membuat produk jahe merah bubuk. Foto: Proyek Strengthening of Social Forestry (SSF)

Pendapatan bulanan dari penjualan bubuk jahe mencapai Rp5 juta (US$320) dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak. Permintaan furnitur yang terbuat dari rotan juga meningkat dan menunjukkan terus bertumbuhnya permintaan pasar.

Di bawah kepemimpinan Lobby, sebuah rumah produksi – yang secara khusus dapat digunakan oleh masyarakat untuk menjalankan kegiatan produksi jahe dan rotan – telah dibangun dan dilengkapi dengan alat pengolahan untuk berbagai produk. Lobby juga menjalin kerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa, memanfaatkan platform media sosial untuk promosi produk, dan mengalokasikan dana desa untuk mendukung usaha masyarakat setempat.

Perhutanan Sosial sebagai Mekanisme Inovatif untuk Pembangunan Ekonomi Hijau di Daerah

Perhutanan sosial membuka peluang untuk mengurangi emisi – dengan mempertahankan tutupan hutan – sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, seperti kisah sukses Uda Yadi dan Mancelina Lobby. Pemerintah provinsi memiliki potensi untuk mengembangkan perhutanan sosial sebagai landasan bagi pembangunan ekonomi hijau di daerah. Pemerintah Provinsi Sumatra Barat telah meluncurkan sebuah inisiatif yang dikenal sebagai Pembangunan Daerah Terpadu, yang memasukkan perhutanan sosial ke dalam berbagai kegiatan pembangunan di sektor kehutanan, pertanian, pariwisata, ekonomi kreatif, industri, agraria dan tata ruang, serta infrastruktur.

Bank Dunia mendukung upaya Indonesia melalui berbagai program, salah satunya Proyek Penguatan Kehutanan Sosial (SSF). Proyek ini memfasilitasi hak pengelolaan secara legal kawasan hutan dan mendorong pengelolaan lestari berbasis masyarakat di hutan seluas 300.000 hektare di 11 kesatuan pengelolaan hutan yang tersebar di 1 kota dan 5 kabupaten di Sumatra Barat, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Utara. Proyek SSF juga mendukung pemerintah provinsi dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip perhutanan sosial ke dalam rencana pembangunan daerah.

Pada tahun 2025, program ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi 150.000 orang (termasuk sekitar 45,000 perempuan), mengurangi 9,2 juta ton emisi CO2, dan meningkatkan tutupan hutan melalui rehabilitasi hutan terdegradasi yang berperan penting bagi pelestarian keanekaragaman hayati.

Proyek SSF telah memberikan hasil nyata, di mana lebih dari 84.000 rumah tangga telah mendapatkan akses legal hak pengelolaan lahan hutan negara, mendapatkan pengetahuan tentang pengelolaan hutan dan agroforestri lestari, serta berpartisipasi dalam pengembangan usaha masyarakat. Selain itu, proyek ini telah berkontribusi meningkatkan tutupan hutan di hutan negara seluas 3.700 hektare.

Program perhutanan sosial Indonesia menunjukkan bagaimana pemerintah, masyarakat lokal, dan komunitas pembangunan dapat bekerja sama untuk mempromosikan nilai hutan, mengembangkan mata pencaharian yang berkelanjutan, dan membantu memerangi perubahan iklim. Inisiatif ini berfungsi sebagai kerangka yang dapat digunakan untuk meningkatkan dan mengulangi keberhasilan tersebut.

 

Blog

    loader image

TERBARU

    loader image