Kaya akan keanekaragaman hayati, laut menjadi sumber penghidupan bagi 60 juta penduduk yang tinggal di kawasan pesisir Indonesia. Terumbu karang tidak hanya dapat menjadi tujuan wisata utama, padang lamun dan hutan mangrove juga memberikan perlindungan terhadap bencana alam dan menyerap karbon dari atmosfer. Habitat laut menawarkan berbagai sumber penghidupan bagi jutaan penduduk dan berperan penting dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, pengelolaan laut secara berkelanjutan sangat diperlukan.
“Bagi kami, laut bukan sekadar perairan, melainkan juga sumber penghidupan bagi masyarakat di daerah saya,” kata Cessy Anakay, Koordinator Ekowisata di Bukan Sekedar Pasiar, organisasi lokal di Kupang, Nusa Tenggara Timur. “Setiap bagian dari laut memiliki manfaat yang bermakna.”
Akan tetapi, penangkapan ikan berlebihan, sampah plastik di laut, polusi, serta pembangunan perkotaan dan pertanian pesisir mengancam ekonomi laut Indonesia. Selain itu, ekosistem kritis seperti terumbu karang dan hutan mangrove turut mengalami degradasi yang signifikan. Pada tahun 1998, Pemerintah Indonesia mengambil langkah besar untuk melindungi terumbu karang dan ekosistem laut melalui Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP) yang didukung oleh Bank Dunia. Melalui beberapa iterasi selama 25 tahun, COREMAP meninggalkan warisan perlindungan bagi sumber daya pesisir Indonesia, menetapkan kawasan konservasi perairan, dan meningkatkan penelitian dan pengawasan ekosistem pesisir.
Pada dua fasenya di awal (1998-2011), COREMAP mengembangkan pengelolaan ekosistem terumbu karang dan pesisir melalui pendekatan desentralisasi berbasis masyarakat. Pengelolaan sumber daya pesisir yang lebih baik berhasil menurunkan hingga 60 persen praktik penangkapan ikan ilegal dan merusak di enam dari tujuh kabupaten sasaran proyek. Kabupaten-kabupaten tersebut juga melaporkan bahwa tutupan terumbu karang bertambah sebesar 17 persen dan beberapa spesies laut yang telah lama hilang kini dapat kembali dijumpai. Seiring dengan berjalannya program, masyarakat setempat yang menjadi penerima manfaat juga melaporkan bahwa pendapatan mereka meningkat sebesar rata-rata 20 persen . Hal-hal yang baik bagi konservasi juga berdampak positif bagi mata pencaharian masyarakat pesisir.
Salah satu pencapaian terbesar adalah pembentukan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) pada tahun 2009 melalui kerja sama dengan lima negara tetangga, yakni: Timor-Leste, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Sebagai kelanjutan dari komitmen CTI-CFF, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 20 juta hektare sebagai Kawasan Konservasi Perairan untuk menjamin perlindungan jangka panjang bagi ekosistem pesisir yang penting.
Fase ketiga dari program ini meningkatkan perlindungan kawasan perairan, meningkatkan pemantauan, memperdalam penelitian, meningkatkan investasi di darat dan memperkuat kapasitas kelembagaan, dengan secara khusus berfokus untuk meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi perairan di Raja Ampat dan Laut Sawu.
Sebagai bagian dari upaya tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berhasil memperluas pemantauan ekosistem pesisir hingga mencakup lebih dari 12 juta hektare. Alat mutakhir seperti Indeks Kesehatan Terumbu Karang, Indeks Kualitas Ekologi Lamun, dan Indeks Kesehatan Mangrove juga dikembangkan dan dipraktikkan selama fase ini. Indeks inovatif ini menghubungkan data lapangan dengan praktik pengelolaan ekosistem yang lebih berkelanjutan serta membuat upaya konservasi menjadi lebih efektif dan memiliki informasi yang lebih memadai.
BRIN juga menetapkan Standar Sertifikasi Pemantauan Ekosistem Pesisir Nasional yang inovatif untuk meningkatkan pemantauan partisipatif ekosistem terumbu karang sehingga masyarakat setempat, universitas, LSM, dan sektor swasta dapat mengikuti pelatihan untuk menilai kesehatan terumbu karang, mangrove, dan lamun.
“Pengelolaan terumbu karang, padang lamun, dan ekosistem mangrove cukup menantang serta membutuhkan kehati-hatian, sinergi, dan pendekatan yang harmonis,” kata Udhi Eko Hernawan, Kepala Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) BRIN. “Peta jalan dan pembelajaran yang diperoleh dari COREMAP menjadi dasar bagi keberlanjutan dan kelangsungan perlindungan dan rehabilitasi ekosistem laut.”
Perluasan penelitian telah menghasilkan informasi berharga yang menjadi dasar investasi pengelolaan dan infrastruktur yang penting bagi konservasi ekosistem pesisir. Melalui Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), COREMAP dan Coral Triangle Initiative meluncurkan enam hibah untuk mendanai proyek di lapangan, mempercepat perkembangan dalam efektivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan. Hibah ini mendukung berbagai kegiatan seperti memulai program ekowisata berbasis masyarakat, pelatihan bagi pengusaha maupun pemandu ekowisata lokal, memperkuat pemantauan terhadap perlindungan kawasan pesisir, serta rehabilitasi terumbu karang, mangrove, dan lamun. Kegiatan ini meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan membantu memastikan keberlanjutan dampak COREMAP. Dengan menara pantau, masyarakat dapat memantau apakah kapal penangkap ikan mematuhi batas-batas kawasan konservasi.