Lombok Timur, Indonesia, September 2016 – Bagi banyak keluarga di Lombok Timur, sebuah kabupaten miskin di Indonesia timur, kiriman uang dari anggota keluarga yang merantau di luar negeri sering merupakan satu-satunya sumber pemasukan.
“Kalau bukan waktu panen, kami hanya punya kiriman uang,” kata Radiah, seorang petani yang suaminya bekerja di Malaysia.
Namun banyak pekerja migran menggunakan jalur berisiko untuk mengirim uang. Karena awam dengan jasa layanan keuangan dan pengiriman uang, mereka menggunakan jasa perantara – pemilik rekening bank yang dibayar untuk mengirim uang.
Herman Fauzi, seorang perantara, mencatat semua pengiriman dan penarikan uang yang dikirim melalui rekening banknya. Mengapa para pekerja migran memilih untuk menggunakan jasanya? “Kadang-kadang,” kata Fauzi, “mereka memakai jasa saya karena mereka tidak percaya dengan keluarganya.”
Namun sering terjadi kehilangan uang yang dikirim lewat jalur berisiko – ini termasuk mengirim uang lewat perantara atau keluarga. Setelah beberapa tahun bekerja di perkebunan sawit di Malaysia, Tanwir mengirim uang ke desanya, lewat saudara perempuannya. Akhirnya, seluruh tabungan yang ia peroleh dengan susah-payah hilang.
Tanwir mengirim uang ke saudara perempuannya, yang kemudian mendirikan sebuah usaha. Tetapi kemudian saudaranya meninggal dan uangnya dikelola oleh putri saudaranya. “Waktu saya meminta uangnya, ia mengaku tidak tahu, padahal ia yang selalu pergi ke bank,” kata Tanwir penuh penyesalan.
Tantangan menglola pengiriman uang: rendahnya layanan keuangan dan tingkat kesadaran
Jumlah pekerja migran terbanyak dari Indonesia berasal dari Lombok Timur. Namun layanan keuangan di daerah ini masih terbatas. Selain layanan yang kurang, tingkat kesadaran masyarakat tentang layanan yang sudah ada, termasuk fasilitas bank, tetap rendah.
“Lokasi yang terpencil membuat layanan keuangan sulit mencapai desa kita,” kata Gunanto, Kepala Desa Tetebatu Selatan. “Selain itu, sebagian besar penduduk hanya lulusan sekolah dasar dan mereka khawatir kalau menyimpan uang terlalu banyak.”
“Bagi masyarakat biasa, bank itu sesuatu yang luar biasa,” kata Marjan, seorang praktisi keuangan mikro. “Kalau mau ke bank, mereka dandan dulu. Untuk memakai ATM mereka perlu bantuan orang lain.”
Gunanto menambahkan bahwa desanya sudah mulai melakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memakai layanan keuangan serta mengelola tabungan. Ia berharap pengelolaan uang yang lebih baik bisa mendukung perkembangan wirausaha setempat.
“Waktu pekerja migran mengirim uang biasanya hanya untuk membangun rumah dan bukan untuk modal usaha,” kata Gunanto.