Melemahnya Pertumbuhan Investasi dan Ekspor Berdampak Pada Perubahan Proyeksi
Jakarta, 8 Desember 2014: Akibat melemahnya pertumbuhan investasi dan ekspor, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 5,2 persen, sedikit di bawah proyeksi Bank Dunia yang dirilis Juli 2014 lalu, yaitu sebesar 5,6 persen.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2014 diperkirakan mencapai 5,1 persen, lebih rendah dari 5,2 persen yang sebelumnya diperkirakan. Demikian terungkap pada laporan Indonesia Economic Quarterly, edisi Desember 2014, yang dikeluarkan Bank Dunia, berjudul Membawa Perubahan.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat mengakibatkan turunnya harga-harga sejumlah komoditas Indonesia, selain juga memperkecil hadirnya peluang-peluang baru. Namun estimasi pertumbuhan yang mengecil ini dapat berbalik arah, bila investasi melampaui harapan pada tahun 2015.
"Pembelanjaan pasar domestik di Indonesia yang bertahan tinggi terus menopang pertumbuhan. Jika Indonesia memperkuat fondasi ekonomi yang lain dan memperkuat iklim investasi, Indonesia dapat mendorong kembali laju pertumbuhan yang lebih tinggi dan lebih pesat,” kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves di Jakarta.
Namun banyak tantangan lain yang harus dihadapi. Misalnya, sampai akhir bulan Oktober, penyerapan belanja modal Pemerintah (capital expenditure) hanya 38 persen dari persiapan pendanaan untuk tahun 2014 -- jauh di bawah angka pada tahun 2012 dan 2013 untuk periode yang sama.
Defisit neraca berjalan berkurang, namun sedikit, yakni di angka USD 6,8 milyar atau 3,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan ketiga tahun ini. Penurunan secara bertahap diperkirakan akan terus berlangsung, dan defisit neraca berjalan diperkirakan mencapai 2,8 persen pada tahun 2015
Penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) memberi dampak kepada inflasi, namun dampak tersebut bersifat sementara. Inflasi diperkirakan akan mencapai 7,5 persen pada tahun 2015, dan menurun pesat sebelum akhir tahun 2015, bila tidak ada gejolak lain.
Penghematan fiskal berjumlah lebih dari Rp100 Triliun dari penyesuaian harga BBM kini memberikan ruang kepada Pemerintah untuk menambah belanja publik bagi sektor-sektor yang prioritas, seperti pelayanan kesehatan. Indonesia menghabiskan hanya 1,2 persen dari PDB untuk pelayanan kesehatan; salah satu alokasi kesehatan terendah bila dibandingkan negara-negara lain di dunia.
"Pembelanjaan yang lebih baik, termasuk untuk pelayanan kesehatan dan program-program perlindungan sosial, dapat mempercepat upaya pengentasan kemiskinan yang telah melambat beberapa tahun terakhir. Tanpa dukungan tambahan ini terhadap upaya pengentasan kemiskinan, tingkat kemiskinan di Indonesia - yang kini 11,3 persen - akan tetap berada di atas 8 persen pada 2018 sekalipun," kata Ndiame Diop, Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia.