Negara-negara pasar berkembang sedang mengalami gejolak keuangan sejak paruh pertama tahun 2018 sejalan dengan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunganya. Ketegangan dari ”perang dagang” telah bertambah, meningkatkan ketidakpastian terhadap prospek perekonomian global.
Amerika Serikat baru saja mengumumkan tarif tambahan terhadap impor China senilai 200 miliar dollar AS dari 200 kategori produk. Tarif sebesar 10 persen mulai berlaku pada hari Senin, 24 September 2018. Jika tidak ada persetujuan yang dicapai, tarif akan meningkat pada Januari 2019.
Beberapa negara pasar berkembang telah mengalami tekanan yang meningkat. Peso Argentina telah terdepresiasi hingga 50 persen di tahun ini saja; lira Turki terdepresiasi sebesar 40 persen. Seperti bisa diduga, investor asing keluar dari negara-negara pasar berkembang, termasuk Indonesia.
Pemerintah bereaksi secara cepat, tegas, dan terkoordinasi terhadap berbagai tekanan ini. Kementerian Keuangan menargetkan defisit yang lebih rendah pada tahun 2018 dan 2019, sementara kampanye pemilihan umum mulai berjalan. Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali meski inflasi berada dalam targetnya dan tidak mempertahankan tingkat tertentu untuk nilai tukar rupiah.
Fundamental kuat
Nilai tukar rupiah telah sedikit terdepresiasi sekitar 9 persen tahun ini, menyebabkan beberapa pihak memprediksi terjadinya arus modal keluar lebih jauh dan devaluasi mata uang yang lebih besar. Mereka menunjuk pada tekanan ”twin deficits” (defisit kembar), yaitu defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan.
Mereka juga memulai mengangkat ancaman tahun 1997 yang tampaknya masih menghantui sebagian orang. Faktanya jelas, tahun 2018 bukanlah tahun 1997 atau tahun 2013. Indonesia berada pada posisi yang jauh lebih kuat saat ini dibandingkan dengan di masa lalu. Walaupun risiko dari luar tetap ada, saya ingin memperjelas bahwa Indonesia memiliki fundamental yang kuat dan fungsi tanggapan kebijakan yang baik.
Pertama, rupiah yang mengalami depresiasi moderat tahun ini sebenarnya adalah sumber kekuatan. Sistem nilai tukar tetap pada tahun 1997 berkontribusi pada meningkatnya ketidakseimbangan: ketika nilai tukar tetap tetapi harga-harga dalam negeri meningkat lebih cepat dibandingkan dengan di negara-negara mitra dagang, nilai tukar riil menjadi terlalu tinggi (overvalued) sehingga mendorong permintaan untuk impor dan merusak daya saing ekspor. Pada akhirnya, krisis neraca modal terjadi.
Dengan nilai tukar yang fleksibel saat ini, devaluasi dalam tingkat sedang membuat impor lebih mahal, ekspor lebih murah, dan nilai dolar dari pengalihan laba lebih rendah, yang semuanya itu secara otomatis akan membantu mengurangi defisit transaksi berjalan.
Kedua, defisit transaksi berjalan saat ini tidaklah sebesar di masa lalu. Pada paruh pertama tahun ini, defisit ini sebesar 2,3 persen dari PDB, dibandingkan dengan 2,7 persen pada tahun 1997 dan 2,9 persen pada tahun 2013. Saat ini defisit transaksi berjalan bukan didorong oleh konsumsi, melainkan sebagian besar karena impor barang-barang modal yang dibutuhkan untuk investasi.
Sebagai contoh, perusahaan pertambangan yang mendanai proyek-proyek infrastruktur membutuhkan peralatan baru yang akan meningkatkan kapasitas produksi ekonomi.
Beralih ke ”defisit kembar” lainnya, kebijakan fiskal Indonesia selalu dan tetap berhati-hati dan bertanggung jawab. Defisit telah dijaga ketat di bawah batas 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan utang pemerintah berada di sekitar 30 persen dari PDB, termasuk di antara yang terendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang atau negara-negara maju.
Total utang luar negeri (swasta dan pemerintah), penyumbang utama krisis tahun 1997, telah turun dari 49 persen dari PDB pada tahun 1997 menjadi 35 persen dari PDB pada tahun 2018, sebagian besar dalam denominasi rupiah.
Masih banyak sisi kekuatan lainnya. Sektor perbankan terkapitalisasi dengan baik, sektor korporasi sekarang ini tidak terlilit utang seperti ketika tahun 1997 dan harus melakukan lindung nilai (hedge) terhadap utang-utang yang berdenominasi mata uang asingnya. Bank Indonesia juga memiliki lebih banyak cadangan devisa saat ini dibandingkan dengan tahun 1997 atau 2013 dan lebih banyak lagi lini kredit, berjumlah sekitar 10 kali lipat dari defisit transaksi berjalan.
Ketahanan ekonomi
Meskipun demikian, pihak yang berwenang dapat mempertimbangkan untuk meningkatkan ketahanan ekonomi terhadap gejolak eksternal dengan mengurangi defisit neraca transaksi berjalan struktural dan mengurangi ketergantungan pada aliran portofolio yang bergejolak. Ada beberapa kesempatan untuk melakukan hal ini, termasuk:
Pertama, ekspor Indonesia masih berada jauh di bawah potensinya dan akan mendapat manfaat dari integrasi yang lebih besar dengan perekonomian global.
Kedua, meskipun subsidi energi telah dikurangi demi bantuan langsung lebih tepat sasaran bagi yang paling membutuhkan, tetapi harga listrik dan beberapa bahan bakar belum sepenuhnya selaras dengan pasar, yang merangsang impor dan meredam ekspor batubara.
Ketiga, Indonesia menarik penanaman modal asing langsung (foreign direct investment/FDI) lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya yang setara, sebagian besar karena adanya pembatasan yang signifikan bagi penanaman modal asing.
Meningkatkan ekspor, mengurangi impor bahan bakar, dan meningkatkan penanaman modal asing langsung, terutama dalam industri yang berorientasi ekspor, akan memperkuat neraca transaksi berjalan Indonesia dan mengurangi ketergantungan terhadap arus portofolio.
Artikel ini sudah terbit di Harian Kompas tanggal 3 Oktober 2018