Seperti telah disinggung pada dua artikel terlebih dahulu mengenai keterlibatan sektor keuangan (financial inclusion) di Indonesia, perluasan akses terhadap layanan keuangan memberikan kontribusi bagi pengentasan kemiskinan maupun pertumbuhan ekonomi. Ketidakmerataan distribusi sektor keuangan merintangi pertumbuhan perusahaan-perusahaan berukuran kecil maupun rumah tangga yang miskin. Meningkatkan akses terhadap layanan keuangan akan membutuhkan tindakan dari sisi permintaan maupun penawaran, oleh sektor pemerintah maupun swasta. Pada negara-negara seperti Indonesia, dengan porsi besar penduduk yang hanya memiliki akses minim terhadap layanan keuangan dan rata-rata bahkan belum pernah membuka rekening bank, pertanyaannya adalah: apa peran pemerintah dan sektor swasta dalam meningkatkan keterlibatan keuangan bagi bagian penduduk yang lebih besar, dan sampai sejauh mana terdapat kesempatan bagi kemitraan pemerintah-swasta yang inovatif untuk mendorong keterlibatan sektor keuangan yang lebih besar bagi bagian penduduk yang saat ini belum dilayani/ belum tersentuh oleh bank?
Pemerintah berada pada posisi yang tepat untuk mengambil prakarsa untuk meningkatkan akses terhadap layanan keuangan di Indonesia pada berbagai bidang. Selain itu, sektor swasta harus melihat potensi pasar sangat besar bagi layanan keuangan yang belum tersentuh oleh pasar saat ini. Bersama-sama, dapat dijumpai kesempatan-kesempatan bagi solusi dan kemitraan yang inovatif untuk memanfaatkan segmen pasar yang baru ini.
Dari sudut pandang sektor publik, pertama-tama suatu strategi dan kebijakan keterlibatan sektor keuangan nasional harus ditempatkan untuk memberikan pedoman umum dan berjangka panjang bagi penyusun kebijakan dan pemain pasar. Kedua, pengumpulan data dan analisis secara berkala mengenai akses terhadap keuangan dari sisi permintaan dan sisi penawaran dibutuhkan sebagai dasar bagi pembuatan kebijakan yang efektif. Ketiga, memperkuat kerangka hukum dan aturan yang ada bagi berbagai lembaga keuangan resmi akan menjadi suatu langkah yang penting dalam meningkatkan akses terhadap keuangan. Bagi setiap pemberi layanan keuangan utama, terdapat aspek-aspek kerangka peraturan yang dapat direformasi demi peningkatan akses terhadap keuangan tanpa melanggar prinsip kehati-hatian. Di titik ini, Indonesia dapat mencermati contoh-contoh yang berasal dari negara-negara berkembang lainnya untuk mendapat ide-ide yang telah berhasil dilaksanakan di tempat lain.
Sebagai contoh, pemerintah dapat memperluas kerangka peraturan bagi pemberi layanan untuk menggunakan perbankan lewat ponsel (mobile banking). Saat ini peraturan Bank Indonesia memperkenankan pemberi layanan non-bank untuk menerbitkan uang elektronik hanya untuk kepentingan pembayaran. Rintangan utama adalah persyaratan ijin yang dibutuhkan. Selain itu, peraturan mengenal nasabah (know-your-customer, KYC) dapat disesuaikan untuk memperkenankan agen pihak ketiga untuk mendaftarkan nasabah baru atau memperkenankan aplikasi jarak jauh untuk rekening bank baru dalam suatu batasan tertentu yang relatif rendah. Saat ini, nasabah harus datang ke kantor lembaga keuangan, yang dapat menjadi hambatan bagi mereka yang hidup di daerah yang lebih terpencil di pedesaan.
Berkaitan dengan bank-bank umum, salah satu masalah utama yang dihadapi banyak nasabah dengan rekening yang kecil adalah biaya administrasi bulanan. Dapat diluncurkan peraturan yang mempermudah bank-bank untuk menutup rekening tidak aktif yang belum mencapai saldo nol, karena tidak ada kebijakan mengenai rekening tidur tampaknya merupakan salah satu alasan yang cukup berarti mengenai adanya biaya administrasi bulanan tersebut.
Reformasi kebijakan juga dapat membantu memperluas peran Bank Perkreditan Rakyat (BPR), terutama untuk membantu mereka yang beroperasi di daerah-daerah yang lebih terpencil. BPR berukuran kecil dapat memperoleh manfaat dari keringanan persyaratan laporan dan reformasi peraturan KYC, dan Indonesia dapat memetik manfaat dari pengalaman negara lain yang terdokumentasi dengan baik seperti dari Afrika Selatan, Kenya dan Filipina dalam meninjau peraturan seperti itu. Selain itu, pengecualian persyaratan NPWP dari syarat pemberian kredit berukuran kecil dapat membuka akses terhadap banyak rumah tangga miskin dan usaha mikro. Sejumlah perubahan kebijakan yang berguna dapat menetapkan suatu tingkat yang rendah bagi modal awal minimum untuk BPR kecil di lokasi terpencil dan memperkenankan investor dan LSM asing untuk bermitra dengan BPR yang lebih besar yang mencari permodalan.
Sebagai penjamin simpanan bank, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah berprestasi baik sejak pendiriannya di tahun 2005 dalam menutup BPR yang mengalami masalah dan membayar kembali simpanan yang dijamin. Selain memastikan bahwa LPS terus mendapat pendanaan yang memadai, juga terdapat kebutuhan akan komunikasi yang lebih baik akan batas jaminan simpanan kepada para penabung, terutama di daerah-daerah dengan pemahaman keuangan yang masih rendah.
Indonesia memiliki sejumlah besar koperasi simpan pinjam yang memberikan layanan keuangan kepada rumah tangga berpenghasilan rendah. Dibutuhkan pengawasan koperasi yang memadai untuk memastikan sektor koperasi yang sehat dan memangkas risiko yang dapat dihadapi oleh penabung UMKM dan rumah tangga miskin yang disebabkan oleh kepailitan suatu koperasi. Selain itu, penyesuaian lain terhadap kebijakan dapat memperkenankan suku bunga berbasis pasar yang lebih lentur, kemudahan untuk membuka kantor cabang baru, dan memberikan kriteria yang lebih longgar bagi pelaporan dan pengungkapan.
Pemerintah juga dapat mempertimbangkan revitalisasi rancangan UU keuangan mikro yang akan memperkenankan lembaga keuangan lain (lembaga keuangan mikro non-bank dan non-koperasi) untuk mendapatkan status hukum yang kuat untuk memberikan akses terhadap layanan keuangan, dan membantu daya jangkau mereka di luar daerah operasi tradisional mereka di pulau Jawa dan Bali. Sangatlah penting bahwa UU itu mendorong akses terhadap keuangan berdasarkan praktik terbaik dari pengalaman internasional dan memberikan kerangka peraturan yang kuat dan pengawasan yang optimal mengenai peran yang harus dimainkan oleh pemerintah. Sementara itu, ketetapan bersama yang ditandatangani pada bulan Desember 2009 memberikan kerangka hukum sementara bagi lembaga keuangan mikro non-bank dan non-koperasi untuk memastikan keberlanjutan akses terhadap keuangan hingga UU Keuangan Mikro resmi ditetapkan.
Sektor swasta dan pemerintah harus bekerja sama dalam memaksimalkan penggunaan teknologi baru untuk menawarkan solusi-solusi inovatif untuk meningkatkan akses terhadap keuangan. Sebagai contoh, Indonesia telah maju dengan cepat dalam pengembangan layanan perbankan lewat ponsel. Tetapi Indonesia dapat melangkah lebih maju dengan memanfaatkan potensi pemberi layanan telekomunikasi untuk menjangkau kaum miskin yangbelumtersentuh bank di daerah-daerah pedesaan . Akan tetapi, peraturan yang sekarang berlaku membatasi para pemberi layanan tersebut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin: tidak ada fasilitas layanan penarikan uang maupun pengiriman uang antar individu. Pada bagian ini, Bank Indonesia menjadi penentu dalam mereformasi peraturan untuk memberdayakan pemberi layanan uang elektronik non-bank dan memperkenankan bank-bank dan non-bank untuk memberikan layanan yang lebih luas melalui solusi perbankan lewat ponsel yang berbiaya rendah. Dengan sangat dikenalnya layanan pesan singkat ponsel (short-messaging services, SMS), maka jika bank-bank dan pemberi layanan telekomunikasi dapat menawarkan layanan perbankan lewat ponsel dengan menggunakan SMS sebagai mekanisme transaksi, maka kemungkinan besar layanan itu akan mendapatkan minat besar, termasuk yang berasal dari segmen pasar masyarakat miskin yang sebelumnya belum tersentuh oleh perbankan.
Di Filipina, pengiriman dana antar individu (person-to-person transfer) diperkenankan lewat perbankan melalui ponsel, sehingga pekerja migran Filipina di luar negeri dapat mengirim uang bernilai jutaan dolar Amerika ke kampung halamannya setiap bulan. Indonesia juga dapat melakukan hal yang sama, jika diperkenankan oleh kerangka peraturan yang berlaku. Dengan demikian, terdapat alasan yang kuat bagi program percontohan yang memperkenankan pengiriman uang seperti demikian, yang dapat dilaksanakan dalam bentuk kemitraan pemerintah-swasta.
Dengan kepemimpinan dari sektor publik untuk memberikan insentif bagi sektor swasta untuk meningkatkan keterlibatan, segmen berukuran besar dari penduduk Indonesia yang belum tersentuh bank dapat secara cepat mencapai sasaran pemerintah dalam keterlibatan sektor keuangan.
Yoko Doi adalah seorang Ahli Keuangan pada kantor Bank Dunia di Jakarta.