Ismail adalah seorang pedagang ikan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur dan tipikal pengusaha kecil. Dia membutuhkan uang tunai untuk membeli ikan dari nelayan setempat dan kebutuhan transaksi keuangan lainnya. Tidak hanya uang tunai sulit didapat di daerah tempat dia tinggal, membawa uang tunai juga memiliki risiko keamanan tersendiri. Banyaknya transaksi tunai dalam nilai kecil menjadi mimpi buruk bagi proses pembukuan.
Namun, ketika Ismail mulai berpartisipasi dalam proyek Percontohan Keuangan Inklusif Bank Dunia, dia menyadari bahwa melalui layanan keuangan digital, ponselnya dapat digunakan untuk melakukan pembayaran, dan para nelayan yang berbisnis dengannya pun demikian.
“Jika transaksinya menggunakan uang tunai, seringkali catatan pembukuan dan arus kas sebenarnya tidak sesuai,” kata Ismail yang juga memiliki toko peralatan memancing. “Setelah mulai menggunakan uang elektronik, transaksi toko saya tercatat dengan baik dan saya juga bisa memantaunya dari ponsel saya. Ini memudahkan usaha saya.”
Meninggalkan transaksi tunai: Kemajuan dan tantangan
Kisah Ismail menggambarkan bagaimana penerapan teknologi keuangan pada layanan jasa keuangan mulai dapat diterima dan berdampak bagi Indonesia. Kepemilikan rekening bank di Indonesia terus meningkat dari 20% pada tahun 2011 menjadi 52% pada tahun 2021, berdasarkan Database Global Findex 2021 Bank Dunia. Kepemilikan rekening uang elektronik juga tumbuh secara signifikan, meningkat dari sekitar 815.000 pengguna menjadi 18,8 juta diantara tahun 2014 dan 2021. Selain itu, sebanyak 75 juta penduduk Indonesia telah melakukan transaksi pembayaran melalui ponselnya di tahun 2021, meningkat 33 juta dibandingkan tahun 2014.
Layanan keuangan yang terjangkau, termasuk akses ke rekening bank dan uang elektronik, dapat membantu mengurangi kemiskinan dan memperkuat pertumbuhan serta ketahanan ekonomi. Layanan keuangan dasar dapat membantu usaha kecil dan perempuan meningkatkan pendapatan mereka dan membuka pintu terhadap lebih banyak peluang.
Meskipun inovasi layanan keuangan ini menjanjikan, rendahnya tingkat kepercayaan masih menjadi hambatan besar untuk adopsi yang lebih luas. Kekhawatiran tentang keamanan online dan penyalahgunaan data membuat calon pengguna khawatir. Banyak masyarakat yang belum mengetahui cara kerja transaksi pembayaran ini, hal ini tercermin dari relatif rendahnya tingkat indeks literasi keuangan dan digital, masing-masing sebesar 49.6% dan 41.5%.
Untuk mengatasi tantangan ini, Bank Dunia telah mendukung beberapa inisiatif literasi keuangan seperti proyek Greenback 2.0 pada tahun 2018, yang mendorong efisiensi di pasar remitansi. Pada tahun 2019, Bank Dunia memberikan dukungan untuk proyek Percontohan Keuangan Inklusif, yang bertujuan untuk meningkatkan kepemilikan dan penggunaan layanan keuangan formal serta memanfaatkan penggunaan teknologi yang diterapkan pada layanan keuangan.
Melanjutkan upaya ini, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan dua “modul” pembelajaran layanan keuangan digital untuk memberikan pedoman tentang inovasi pilihan produk dan layanan keuangan bagi individu dan usaha kecil dan menengah (UKM). Modul-modul tersebut akan digunakan pada kampanye media sosial untuk menjangkau individu dan sebagai rencana pembelajaran untuk kursus pelatihan bagi usaha kecil dan menengah. Modul-modul ini dikembangkan dengan dukungan dari Bank Dunia dan State Secretariat for Economic Affairs (SECO) Swiss, dan diperkenalkan pada bulan Agustus 2023 saat dilaksanakannya Digital Financial Inclusion Festival.
Masyarakat belajar tentang mobile banking dan e-money dari kegiatan proyek percontohani keuangan inklusif.
Modul pelatihan untuk UKM memperluas kerangka pelatihan yang sudah dimiliki oleh Bank Indonesia. Modul ini memberikan panduan bagaimana memanfaatkan layanan keuangan digital untuk membantu pertumbuhan usaha kecil-menengah, seperti cara membuka rekening bank, penjelasan tentang pembayaran digital, dan informasi tentang pengembangan bisnis secara online. Pelatihan ini memberikan saran-saran terperinci untuk setiap tahapan pertumbuhan usaha kecil.
Modul untuk individu ditujukan untuk mempromosikan layanan keuangan digital baik bagi non-pengguna maupun "pengguna pasif," yakni individu yang memiliki mobile banking atau akun uang elektronik tetapi jarang menggunakannya. Pada masa tiga bulan uji coba, yang dilakukan bekerja sama dengan bank dan penerbit uang elektronik, berbagai materi informasi disebarkan melalui platform media sosial seperti Facebook, Instagram, dan grup WhatsApp. Setelah melewati tahapan uji coba dan diskusi kelompok terarah, modul ini kini mulai digunakan oleh regulator (Bank Indonesia dan OJK) dan industri (bank dan penerbit uang elektronik).
Edison, seorang guru dan fotografer paruh waktu, merupakan salah satu peserta pada masa uji coba. Meskipun memiliki akun uang elektronik dan mobile banking, dia jarang menggunakannya karena alasan keamanan. Sekarang, dia menyadari bahwa layanan keuangan digital dapat diandalkan.