Di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, masyarakat desa Padang Tikar mengelola 76.000 hektar hutan mangroves. Dari bisnis berbasis agroforestri dan lebah madu, masyarakat desa menghasilkan keuntungan bulanan sekitar Rp 325 juta – sebuah contoh bagaimana akses legal terhadap pengelolaan hutan secara lestari dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat pedesaan. Kisah ini, yang diceritakan dalam buku Tosca Santoso tahun 2019 berjudul Lima Hutan, Satu Cerita, menggambarkan salah satu dari banyak cara masyarakat untuk dapat berkembang ketika diberi akses legal untuk mengelola hutan secara lestari.
Pertanian dan kehutanan berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, banyak masyarakat yang bergantung pada hutan dan lahan pedesaan untuk mata pencaharian pertanian, termasuk banyak masyarakat adat, lebih miskin daripada angka rata-rata nasional. Di antara rumah tangga desa yang berada di dalam atau di sekitar hutan, 1,7 juta dari 9,2 juta tergolong berpenghasilan rendah, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2017. Di masa lalu, lahan hutan yang disediakan oleh pemerintah tidak terdistribusi secara merata antara sektor swasta dan masyarakat, yang mengakibatkan terbatasnya akses bagi rumah tangga desa, konflik penguasaan lahan, ketidakadilan sosial, dan kemiskinan.
Indonesia berupaya mengatasi hal tersebut pada tahun 2015. Dalam upaya menjamin ketersediaan lahan dan pengelolaan kawasan hutan bagi masyarakat lokal dan adat serta mewujudkan keadilan sosial dalam pemanfaatan kawasan hutan dan sumber daya hutan, pemerintah mencanangkan program perhutanan sosial, salah satu kebijakan pemerataan ekonomi yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo.
“Peraturan mengamanatkan program perhutanan sosial menjadi sistem pengelolaan hutan terpadu, yang dilaksanakan terutama oleh kelompok tani hutan dan masyarakat adat, dengan tujuan untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan melindungi hutan dari degradasi dan konversi lahan,” ujar Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Salah satu aspek penting yang perlu diingat adalah, kita tidak bisa berhenti hanya di distribusi akses pemanfaatan hutan. Setelah izin dan akses diberikan, kita perlu memberdayakan dan memperkuat kapasitas masyarakat ini untuk mengelola hutan secara lestari. Dengan demikian, kita dapat mencapai tujuan perhutanan sosial, memastikan akses ini mengarah pada manfaat ekologi, ekonomi dan sosial.”