Andi, seorang anak berusia enam tahun yang tinggal di Kabupaten Bireuen, Aceh, saat ini bersekolah di taman kanak-kanak. Ia didiagnosis sebagai anak berkebutuhan khusus saat masih kecil.
“Saya sudah mencari-cari banyak sekolah, tetapi belum menemukan satu pun sekolah yang membuat saya merasa nyaman untuk melepas anak saya belajar di sana,” kata Nanda, ibu Andi.
Pada suatu hari, seorang dokter anak merekomendasikan Nanda untuk memasukkan putranya ke taman kanak-kanak di Bireuen yang menyediakan kelas bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Taman kanak-kanak ini menerapkan kebijakan keberagaman dan inklusi. Tak butuh waktu lama bagi Nanda untuk mendapati bahwa Andi diterima sebagaimana kepribadian dan karakternya oleh anak-anak dan komunitas orang tua di taman kanak-kanak tersebut.
“Saya sangat senang menemukan taman kanak-kanak yang berhasil menggali potensi diri Andi. Tapi sekarang, saya cemas mengenai transisinya ke sekolah dasar dan bagaimana ia akan diperlakukan nanti. Harapan saya hampir pupus untuk dapat menemukan sekolah yang memiliki sarana dan prasarana untuk anak-anak berkebutuhan khusus,” kata Nanda.
Nanda memahami bahwa bukan hanya prasarana sekolah yang perlu bersifat inklusif, tetapi juga dukungan seluruh lingkungan sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, guru, siswa lainnya, serta orang tua adalah penting bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Masih banyak anggota masyarakat yang belum secara terbuka dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus. Karena itu, penting agar perbedaan anak dilihat secara lebih positif di lingkungan sekolah.
Dalam salah satu diskusi kelompok terpumpun (FGD) yang diadakan secara daring oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Bank Dunia pada Bulan Maret 2021, Nanda lantang menyuarakan pendapatnya atas nama anak-anak berkebutuhan khusus, seperti putranya.
“Saya adalah orang tua dari anak yang akan bersekolah di sekolah dasar. Saya berharap pemerintah membantu menciptakan sekolah dengan lingkungan yang dapat menerima dan mendukung anak saya maupun anak berkebutuhan khusus lainnya,” katanya.
Sayangnya, masih banyak orang tua lain yang sama seperti Nanda, memiliki kekhawatiran terhadap anaknya.
Tantangan mendidik anak berkebutuhan khusus
. Atau, kalaupun mereka dapat naik kelas, pada akhirnya putus sekolah karena kurang memadainya pelatihan guru dan sistem sekolah untuk mengakomodasi pembelajaran anak-anak berkebutuhan khusus.
Kemendikbudristek telah mendorong penerapan pendidikan inklusif untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh anak-anak berkebutuhan khusus. Jumlah sekolah inklusi meningkat dari 3.610 menjadi 28.778 antara tahun 2015 dan 2020. Namun, hanya kurang dari 13 persen dari sekolah-sekolah inklusi tersebut yang memiliki guru terlatih dan siap memberikan dukungan pembelajaran yang memadai bagi anak-anak berkebutuhan khusus.