Saat ini, Indonesia sedang secara bertahap mengadopsi pendekatan manajemen aset dan kewajiban dengan menerapkan penyusunan neraca konsolidasi, ketika membuat keputusan untuk mengelola risiko. Apa alasannya, dan apa manfaatnya bagi Indonesia?
Setelah krisis keuangan Asia pada akhir 1990-an, pemerintah Indonesia mengadopsi pendekatan fiskal yang jauh lebih konservatif untuk meningkatkan ketahanan terhadap guncangan keuangan dan dalam menghadapi krisis global berikutnya. Pendekatan ini termasuk memperluas cakupan analisis risiko fiskal, dari yang awalnya hanya memperhitungkan risiko pemerintah pusat, kini turut memasukkan risiko yang ditimbulkan oleh lembaga-lembaga negara lainnya. Seiring waktu, aset dan kewajiban milik Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta pemerintah daerah juga diperhitungkan di dalam neraca konsolidasi. Untuk Indonesia, langkah menuju pendekatan manajemen aset dan kewajiban (ALM) telah berkembang secara bertahap dan menyeluruh.
Langkah 1: Mengintegrasikan data Bank Indonesia
Besarnya utang pemerintah Indonesia telah dipertahankan secara konservatif di bawah 30 persen terhadap PDB selama sepuluh tahun terakhir, jauh di bawah batas maksimum sebesar 60 persen dari PDB, seperti yang ditetapkan dalam UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Namun, portofolio utang saja mungkin tidak cukup untuk menginformasikan pemerintah tentang jenis dan tingkat risiko yang dihadapi. Hal ini karena risiko fiskal dapat muncul dari utang pemerintah dan juga dari sumber lain seperti guncangan terhadap variabel makroekonomi (nilai tukar valuta asing, harga komoditas, tingkat suku bunga, dll) ataupun kewajiban kontinjensi.
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih lengkap tentang eksposur terhadap risiko, dan khususnya risiko mata uang, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai menganalisis dua sumber eksposur valuta asing (valas) yang paling penting, yaitu: utang pemerintah pusat dalam valuta asing, dan cadangan devisa (dikelola oleh Bank Indonesia). Kemenkeu kemudian membuat perkiraan awal neraca konsolidasi dengan memasukkan aset dan kewajiban terbesar milik pemerintah pusat dan Bank Indonesia ke dalam satu dokumen. Neraca konsolidasi ini membantu pemerintah tidak hanya dalam memitigasi eksposur valuta asing, tetapi juga dalam mengidentifikasi area berpotensi risiko lainnya.
Langkah 2: Membangun institusi internal
Kemenkeu membentuk suatu Subdirektorat di bawah Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara (PRKN) di lingkungan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) yang membawahi SALM. Subdirektorat ini mengumpulkan informasi dari berbagai lembaga pemerintahan, menganalisis, dan bertanggung jawab untuk membuat laporan neraca konsolidasi tahunan dan untuk penggunaan internal kementerian.
Secara paralel, Kemenkeu juga telah membentuk Komite ALM untuk menilai kebutuhan likuiditas jangka pendek pemerintah. Komite tersebut mengadakan pertemuan hampir setiap bulan atau menyesuaikan kebutuhan, dengan dihadiri para pejabat senior di bawah arahan Menteri Keuangan. Meskipun berfokus kepada pengelolaan likuiditas jangka pendek, komite ini juga menyediakan forum untuk berbagi informasi terkait ALM. Komite ALM membahas bagaimana kondisi makroekonomi saat ini dan kebijakan pemerintah yang memengaruhi pendapatan, pengeluaran, pembiayaan, dan pengelolaan kas negara.
Langkah 3: Melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) utama dan memperluas cakupan pemantauan
Pemerintah memasukkan Pertamina (sektor minyak dan gas); Perusahaan Listrik Negara (PLN) (sektor kelistrikan); dan lima BUMN sektor konstruksi yang paling substansial yaitu PT Adhi Karya, PT Hutama Karya, PT Pembangunan Perumahan, PT Waskita Karya, dan PT Wijaya Karya ke dalam analisis eksposur risiko mata uang (33 persen dari total aset BUMN); dan memperluas cakupan risiko dengan memasukkan risiko solvabilitas dan likuiditas. Selanjutnya, pada tahun 2019, Direktorat Manajemen Risiko Keuangan Negara menerbitkan laporan konsolidasi neraca Pemerintah Pusat dan BUMN utama untuk risiko mata uang, solvabilitas, dan likuiditas. Hal ini menempatkan Indonesia di antara kelompok negara unik yang menggunakan neraca untuk menentukan dan memantau ketidaksesuaian antara aset dan kewajiban negara[1], selain Selandia Baru, Kanada, Denmark, dan Uruguay. Hingga 2020, Baru-baru ini Kementerian Keuangan juga menambahkan neraca pemerintah daerah ke dalam pemantauan, termasuk milik 34 pemerintah provinsi dan 514 pemerintah kabupaten/kota. Sehingga kini neraca pemerintah merupakan konsolidasi dari pemerintah pusat dan daerah.
Program Pengelolaan Utang dan Risiko Pemerintah (GDRM) memainkan peran penting dalam perpindahan Indonesia menuju pendekatan manajemen aset dan kewajiban
Indonesia telah menjadi anggota jangka panjang untuk Program GDRM, sebuah inisiatif Bank Dunia, yang disponsori oleh Swiss State Secretariat for Economic Affairs (SECO). Selama kemitraan ini berlangsung, program tersebut mendukung Kemenkeu dalam memperbaiki strategi pengelolaan utang, mengembangkan kerangka pengelolaan kewajiban kontinjensi dari jaminan yang diberikan oleh pemerintah terhadap proyek-proyek BUMN, mengembangkan alat analisis untuk mengelola utang pemerintah, dan berpindah menuju pendekatan manajemen aset dan kewajiban negara.
Diskusi tentang ALM dimulai di bawah kepemimpinan ketua tim gugus tugas GDRM yang sebelumnya terlibat dalam menyiapkan pendekatan ALM di Departemen Manajemen Utang Denmark.
“Hanya sedikit negara di dunia yang memiliki pendekatan neraca yang komprehensif untuk ALM,” kata Lars Jessen, Lead Debt Specialist di program GDRM Bank Dunia. “Namun ada beberapa negara yang menerapkan ALM secara parsial. .”
Di bawah payung GDRM, selain layanan konsultasi dari para pakar internasional, Indonesia juga menerima pelatihan ekstensif terkait ALM, termasuk lokakarya selama seminggu yang melibatkan staf dari Bank Indonesia maupun Kementerian Keuangan. Selain itu, program ini memberikan dukungan implementasi yang berkelanjutan selama pengembangan kerangka ALM. Dengan meninjau neraca konsolidasi tahap awal, para pakar GDRM melakukan penilaian terhadap eksposur risiko valuta asing serta ukuran kerentanan neraca lainnya, melalui serangkaian kunjungan penugasan, dan membuat saran implementasi praktikal.
Mengadopsi kerangka manajemen aset dan kewajiban negara akan membantu Indonesia untuk lebih mempersiapkan diri menghadapi risiko global
Pengimplementasian ALM secara parsial telah membantu Kemenkeu di berbagai tingkatan. Untuk memperhitungkan aset dan kewajiban dari berbagai lembaga pemerintahan, Indonesia mengembangkan Indeks Kerentanan Neraca (Balance Sheet Vulnerability Index), yang terdiri dari berbagai faktor yang mengukur eksposur risiko pemerintah dan mendorong pembuatan kebijakan, termasuk menjaga porsi utang valuta asing. Kemenkeu juga telah meningkatkan kapasitas teknis dalam menggunakan instrumen derivatif keuangan sebagai perlindungan terhadap risiko residual. Dan Kemenkeu turut memantau kewajiban kontinjensi yang muncul dari jaminan yang diberikan oleh pemerintah, dengan rencana lebih lanjut untuk memasukkan BUMN konstruksi ke dalam program pemantauan. Neraca tersebut juga memungkinkan Kemenkeu untuk lebih transparan dan menunjukkan kepada masyarakat besarnya investasi yang direalisasikan, seiring dengan pergerakan portofolio utang.
Tugas Indonesia tidaklah mudah. Lembaga-lembaga yang mengelola berbagai portofolio aset dan kewajiban memiliki otonomi yang terbatas; mereka juga memiliki tujuan dan standar akuntansi yang berbeda, sehingga membuat penghitungan menjadi rumit, termasuk penghitungan risiko netto (net risks). Meskipun demikian, pendekatan ALM memfasilitasi berbagai pihak untuk berkoordinasi dalam mengelola risiko terhadap neraca.
“,” kata Heri Setiawan, Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara, Kementerian Keuangan, Indonesia. “Memiliki kerangka kerja tersebut akan membantu perencanaan dan mitigasi terhadap guncangan eksternal terhadap perekonomian.” Saat ini, pendekatan neraca konsolidasi menjadi makin relevan di tengah pandemi COVID-19, karena banyak negara akan memiliki tingat utang yang lebih tinggi, termasuk risiko fiskal yang bersumber dari BUMN serta mekanisme penjaminan. Pendekatan neraca konsolidasi menjadi alat berharga untuk memonitor risiko-risiko tersebut.
"Contoh kasus di Indonesia menunjukkan bahwa menerapkan pendekatan ALM secara lengkap, seperti lari maraton, bukan sprint," menurut Satu Kahkonen, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste. "Sungguh menggembirakan melihat manfaat yang dibawa oleh implementasi yang mantap dan bertahap terhadap Indonesia."