Bandung, Indonesia, 21 Maret 2017 – Saat ini Indonesia sedang mengalami urbanisasi pesat, dan kota-kotanya tumbuh lebih cepat dari negara manapun di Asia. Diperkirakan pada tahun 2025, 67,5% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan.
Ada banyak tantangan seiring urbanisasi yang tinggi. Salah satunya adalah memenuhi kebutuhan pengelolaan sanitasi yang baik.
Yoyok Cahyono Upoyo, warga Bekasi di Jawa Barat, merupakan salah satu dari jutaan penduduk kota yang menghadapi masalah sanitasi.
Sebagian besar keluarga kota mengandalkan septic tank yang terletak di bawah atau dekat rumah, tapi banyak yang tidak kedap air. Bahkan ada kesalahpahaman umum di Indonesia bahwa septic tank yang baik adalah yang bocor sehingga tidak perlu disedot.
“Sebagian besar tetangga saya punya septic tank di rumah, dan sumur untuk umum ada di dekatnya. Jadi saya tahu kalau airnya tercemar,” kata Yoyok.
Ia juga menyadari dampaknya.
“Bakteri dari septic tank bisa berakibat buruk kepada keluarga saya, terutama anak-anak. Mereka bisa terkena diare, atau pertumbuhan anak ‘kuntet’,” tambah Yoyok.
Sembilan juta, atau 30% balita Indonesia mengalami stunting, yaitu terhambat pertumbuhan badan dan otak. Air yang tercemar akibat sanitasi buruk merupakan salah satu penyebab utama.
Jamban sehat sudah banyak tapi masalah tetap ada
Akses sarana sanitasi di kota-kota Indonesia sebenarnya sudah bertambah; 76% penduduk kota sudah mempunyai jamban sehat, tapi masalah tetap ada.
“Target 100% akses sanitasi tidak berhenti di akses, hanya 5% sanitasi yang aman, sisanya masih mencemari lingkungan,” kata Tri Dewi Virgiyanti, Direktur Perkotaan, Perumahan dan Permukiman dari Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.
Ketika septic tank dikosongkan, lumpur tinja sering hanya dipindahkan ke tempat lain, seperti tanah kosong atau bantaran sungai. Sering juga terlihat rumah-rumah di tepi sungai yang memiliki pipa untuk membuang limbah rumahtangga dari jamban langung ke sungai.
Dampak lebih besar dari pengelolaan sanitasi yang buruk
Masalah akibat sanitasi yang buruk memiliki dampak yang jauh lebih besar.
“Sekitar 68% sungai di Indonesia mengalami pencemaran berat. Dari sungai-sungai tersebut, 70% tercemar oleh limbah rumahtangga,” kata Tri Dewi.
Sungai yang tercemar oleh limbah rumahtangga akan menambah biaya produksi air bersih karena kontaminasi yang semakin banyak akan memerlukan upaya yang lebih besar. Pengelolaan sanitasi yang buruk telah meningkatkan biaya pengelolaan air sebanyak 25%.
Akibat sanitasi yang buruk, diperkirakan Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp 56 triliun setiap tahun.