Maumere, Indonesia, 16 Oktober 2015 – Suara warga dapat mendorong penyediaan layanan umum yang layak dan memenuhi standar.
Melalui program Global Partnership for Social Accountability, atau GPSA, Bank Dunia mendukung penguatan keterlibatan masyarakat dalam jasa pelayanan publik di negara-negara berkembang, sehingga program-program tersebut dapat mencapai tujuan akhirnya dan mengubah hidup masyarakat menjadi lebih baik.
Dukungan tersebut diberikan kepada lembaga masyarakat sipil yang menerapkan akuntabilitas sosial dalam memantau capaian program, misalnya dalam bidang kesehatan, dengan menggunakan pendekatan transparansi, inovasi, dan partisipasi masyarakat.
Pada tahun pertama peluncuran program GPSA tahun 2013, GPSA memberikan hibah kepada Wahana Visi Indonesia (WVI) untuk menjalankan program perbaikan kesehatan ibu dan anak di beberapa wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Sekretariat GPSA menerima 216 proposal dari seluruh dunia pada tahun itu, dan proposal WVI merupakan satu dari belasan proposal dari negara berkembang yang berhasil meraih dukungan. WVI mengajukan proposal untuk membantu mengatasi tingginya angka kematian ibu di Nusa Tenggara Timur, salah satu provinsi dengan angka kematian ibu tertinggi di Indonesia.
Layanan umum yang buruk adalah salah satu sebab di balik tingginya angka kematian ibu tersebut, seperti yang dialami Natalia, ibu tiga anak dari Desa Riit di Maumere.
“Ada saat-saat ketika bidan desa tidak ada, atau persediaan obat tidak cukup,” katanya.
Penting bagi bidan desa untuk selalu ada dan siap, terutama untuk kondisi desa seperti Riit: terisolasi di daerah berbukit dengan jalan yang rusak berat. Apabila bidan tidak ada, seorang ibu harus pergi ke klinik terdekat dan perjalanan dapat memakan waktu beberapa jam – sesuatu yang berisiko bagi nyawa sang ibu dan anak.
Mengajak masyarakat bersuara untuk memperbaiki layanan kesehatan
Program WVI diterapkan di tiga kabupaten yang berpenduduk sekitar 52.000 orang. Program ini menggunakan metode “aksi suara warga” yang mendukung masyarakat melakukan advokasi untuk perbaikan layanan kesehatan ibu dan anak.
Kurangnya kesadaran menjadi salah satu hambatan bagi masyarakat untuk menyampaikan kepada pemerintah ketika layanan umum kurang atau tidak memuaskan.
“Kadang tidak semua layanan tersedia di puskesmas. Tapi banyak masyarakat tidak tahu bahwa layanan itu harusnya ada, jadi masyarakat menerima layanan apapun yang diberikan,” kata Herlianto Duarte Naru, yang bekerja sebagai fasilitator program di Wuliwutik, sebuah desa yang terkenal dengan patung Bunda Maria yang besar.
Fasilitator secara rutin berkunjung ke desa-desa dan memberi informasi kepada para ibu seperti Natalia tentang standar pelayanan minimal yang harus tersedia di puskemas dan posyandu, sebagaimana tertera dalam peraturan pemerintah. Ini termasuk harusnya ada jumlah minimal pekerja kesehatan, penetapan jam kerja, dan jenis layanan yang harus ada.
Setelah masyarakat memiliki pemahaman lebih baik tentang standar pelayanan, mereka mengisi kartu penilaian guna menilai pengalaman mereka saat menggunakan layanan kesehatan.
“Masyarakat kadang enggan menyampaikan langsung tentang mutu pelayanan,” kata Antonius Luju, Kepala Desa Nita. “Kartu penilaian program membantu mereka untuk jujur memberitahu kami apa yang terjadi di lapangan.”
Selain masukan masyarakat melalui kartu penilaian, para fasilitator juga memeriksa fasilitas kesehatan untuk melihat apakah sudah memenuhi standar pelayanan minimum. Setelah kartu penilaian masyarakat dan pemeriksaan oleh fasilitator sudah lengkap, kedua materi tersebut akan dibawa ke instansi pemerintah yang lebih tinggi, guna melakukan advokasi perbaikan layanan.