Skip to Main Navigation
ARTIKEL

Tantangan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia: Penurunan Berkurang, Ketimpangan Meningkat

23 September 2014



PESAN UTAMA
  • Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat telah membantu menekan angka kemiskinan.
  • Sayangnya kecepatan penurunan angka kemiskinan berkurang, dan ketimpangan justru meningkat melebihi negara-negara tetangga.
  • Mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan membutuhkan bantuan dari semua pihak di Indonesia: pemerintah, lembaga penelitian, sektor swasta dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

Jakarta, Indonesia, 23 September 2014 – Pertumbuhan ekonomi yang kuat di Indonesia telah membantu menekan angka kemiskinan. Angka kemiskinan turun ke 11.3% pada tahun 2014, dibandingkan 24% pada tahun 1999. Tapi kemudian kecepatannya berkurang. Tingkat penurunan kemiskinan yang hanya mencapai 0.7% dalam dua tahun terakhir adalah yang terkecil sepanjang satu dekade terakhir.

Ada 28 juta orang Indonesia yang masih terjerat kemiskinan. Murtianah, seorang pengumpul kardus dan plastik, termasuk di antaranya. “Biasanya saya bisa dapat Rp20,000 sehari. Tapi ketika hujan, paling banyak Rp 15,000,” katanya.  Janda satu anak ini berkeliling  Jakarta memungut kardus dan plastik untuk mencari makan dan menyekolahkan anak dengan harapan bisa meraih nasib lebih baik.

“Ketika anak saya lahir, saya besarkan di bawah jembatan. Ketika mulai besar, saya pindah ke kontrakan supaya ia tidak malu. Dan saya sekolahkan supaya hidupnya jangan seperti saya,” katanya.

 

Kemiskinan dan Ketimpangan: Masalah lebih besar dari pada yang dibayangkan

Meskipun Indonesia telah menjadi bagian dari 20 besar ekonomi dunia, seperempat penduduknya masih sangat rentan untuk kembali miskin. Perbedaannya tidak seberapa besar. Sekitar 68 juta penduduk Indonesia hidup tidak jauh dari batas Rp 11.000. Dengan sedikit sakit, bencana atau kehilangan pekerjaan, mereka bisa langsung kembali miskin.

Misalnya Chasudin dan keluarganya. Chasudin, pencari kerang di Jakarta, bisa mendapat Rp 50,000 per hari, tapi jumlah itu hanya cukup untuk membayar kebutuhan satu hari.  “Apa yang kita dapat hari ini, ya habis. Tidak ada yang tersisa untuk ditabung,” katanya.

Bila tidak ada pekerjaan, Chasudin dan keluarganya menjadi miskin kembali. “Waktu tidak punya pekerjaan kemarin, saya pinjam uang ke tengkulak. Saya pinjam Rp100.000, bulan depannya harus kembalikan Rp 120.000.”



" Apa yang kita dapat hari ini, ya habis. Tidak ada yang tersisa untuk ditabung "

Chasudin

Pencari kerang


Banyak yang bernasib seperti Chasudin. Dari data 2010, separuh dari mereka yang miskin bukan termasuk orang miskin setahun sebelumnya. Seperempat populasi Indonesia jatuh miskin setidaknya sekali dalam tiga tahun. Situasi menjadi lebih sulit lagi ketika keluarga yang miskin menghabiskan uang sangat sedikit untuk kesehatan dan pendidikan – rata-rata cuma 5%. Akhirnya anak-anak yang dihasilkan pun tidak terdidik dan tidak sehat; mereka terancam mewarisi lagi kemiskinan yang sama ke generasi berikutnya.  

Ketimpangan konsumsi  rumah tangga Indonesia pun telah meningkat sejak tahun 2000. Koefisien Gini, ukuran dari ketimpangan konsumsi, telah meningkat dari 0.30 pada tahun 2000 menjadi kira-kira 0.41 pada tahun 2013. Kesenjangan antar wilayah pun tidak berkurang. Wilayah timur Indonesia tertinggal di belakang wilayah-wilayah lain di Indonesia, terutama Jawa. Tak heran bila angka ketimpangan konsumsi di Indonesia paling tinggi di Asia Timur, walau Indonesia mencatat kemajuan yang baik dari sisi pengentasan kemiskinan.

Ada banyak cara untuk melakukan pengentasan kemiskinan, seperti:

  • Perbaikan akses pangan, kesehatan dan pendidikan bagi orang miskin
  • Penciptaan lebih banyak lagi lapangan kerja
  • Pembentukan jaring pengaman sosial untuk melindungi mereka yang rentan

Pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan membutuhkan partisipasi semua pihak, bukan hanya pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah, lembaga-lembaga riset, sektor swasta dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.


Api
Api

Welcome