Pendekatan serupa juga dilakukan di kabupaten Bireun oleh Sjamsul Bachri, seorang mantan kombatan yang berhasil memulai hidup baru sebagai petani kakao setelah Aceh berdamai. Setelah mempraktikkan ilmu yang diperolehnya lewat penyuluhan Swisscontact, Sjamsul kemudian terinspirasi untuk menulis buku pelatihan sendiri tentang cara merehabilitasi dan melestarikan kebun kakao. Bukunya menggabungkan ilmu pelatihan Swisscontact, dan juga hasil-hasil eksperimentasinya sendiri di lapangan. Hebatnya lagi, buku ini dicetak dengan modal sendiri dan dibagi secara gratis kepada warga desanya -- agar mereka pun terinspirasi untuk kembali berkebun dan menjadikan kakao sebuah komoditas lokal.
Sjamsul dan Anita sama-sama bekerja untuk memajukan industri kakao Aceh. Keduanya mendapat penyuluhan dari Swisscontact melalui Sekolah Lapang Ppetani Kakao. Mereka pun menarik warga sekitarnya untuk menimba ilmu lewat program Sekolah Lapang, dimana mereka dipercaya utnuk menjadi penyuluh pendamping. Anita contohnya, memimpun kelompok yang beranggotakan 29 orang, dimana hampir separuhnya adalah petani perempuan. Sejauh ini, program Sekolah Lapang telah berhasil melatih 12.000 petani dan merehabilitasi 845 hektar kebun kakao di kabupaten Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Tamiang, Aceh Barat Daya dan Aceh Tenggara.
“Ukuran pencapaian dari program ini adalah dalam mengubah pandangan dan perilaku petani tentang kakao. Dulu mereka berpikir mustahil untuk dapat menggantungkan kehidupannya dari bertanam kakao. Sekarang mereka sudah dapat merasakah sendiri manfaatnya,” terang Manfred Borer, Program Manager - Swisscontact.
Seiring dengan upaya apa yang telah dilakukan, Kepala Badan Perencanaan Daerah Aceh, Iskandar, menyebutkan, pemerintah memberikan perhatian yang cukup serius untuk komoditi kakao – yang menjadi salah satu dari empat komoditi andalan Aceh.
“Saat ini kami sedang membangun pelabuhan di Lhokseumawe senilai Rp 1,25 triliun. Pelabuhan ini disiapkan untuk ekspor berbagai komoditas unggul di Aceh seperti kakao,” tegasnya pada Aceh Cocoa and Coffee Conference yang digelar di Banda Aceh, bulan Maret lalu. Ia berharap, perluasan pelabuhan ini dapat memperkuat mata rantai produksi dari hulu ke hilir. “Dengan demikian, nilai tambah produksi meningkat dan ini berdampak pada perluasan tenaga kerja dan laju pertumbuhan ekonomi Aceh.”
Program Peningkatan Ekonomi Kakao Aceh merupakan sub-proyek program Fasilitas Pendanaan Pembangunan Ekonomi (Economic Development Financing Facility) Aceh yang didanai Multi Donor Fund.
Multi Donor Fund for Aceh and Nias, yang dikelola oleh Bank Dunia, memberikan hibah senilai $44,5 juta dari total anggaran kepada delapan lembaga untuk menerapkan sejumlah sub-proyek. Program Economic Development Financing Facility bertujuan mendukung pemulihan ekonomi pasca-tsunami dan mendorong pembangunan ekonomi jangka panjang berkesinambungan yang adil, dan sesuai dengan rencana pembangunan ekonomi Pemerintah Aceh.