Jakarta 16 Maret, 2011 - Kondisi ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2011 serasa déjà vu tahun 2008. Momentum ekonomi lokal yang kuat disertai naiknya harga komoditas di tingkat internasional dan domestic seperti yang terjadi tiga tahun lalu membuat Bank Dunia memilih “2008 Again?” sebagai judul laporan Indonesia Economi Quarterly untuk Maret 2011.
Laporan ini diluncurkan di Kampus Pascasarjana Paramadina pada 16 Maret dan membawa dua pesan utama. Pertama, ekonomi Indonesia menunjukkan ekonomi yang kuat. Pertumbuhan pada kuartal keempat tahun 2010 melampaui ekspektasi dan berada di atas rata-rata 10 tahun terakhir. Bank Dunia menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2011 menjadi 6,4 persen dengan kemungkinan adanya kenaikan lebih lanjut sebesar 6,7 persen pada 2012. Neraca pembayaran tetap kuat, dan investasi asing mencapai tingkat yang sebelumnya belum pernah dicapai.
Pesan kedua laporan ini adalah, meski kondisi membaik, naiknya harga komoditas membawa risiko bagi Indonesia. Harga komoditas Banyak harga komoditas global kembali naik setara dengan tingkat pada tahun 2008, bahkan ada beberapa yang lebih tinggi. Shubham Chaudhuri, Lead Economist Bank Dunia Indonesia, menjelaskan bahwa naiknya harga komoditas bisa membawa dampak positif terhadap tingkat PDB secara keseluruhan karena sumerdaya yang dimiliki Indonesia. Namun ia mengingatkan, “Ada risiko bagi rumahtangga miskin yang akan terkena dampak besar akibat tingginya kenaikan biaya hidup.” Inflasi karena kenaikan harga pangan juga membawa risiko terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Menurut Shubham, di tingkat global Bank Dunia memperkirakan bahwa kenaikan harga pangan sejak Juni 2010 telah membuat sekitar 44 juta orang baru masuk dalam kategori miskin.
Risiko lain yang perlu diwaspadai Indonesia terkait naiknya harga komoditas adalah kenaikan harga minyak yang dapat mengakibatkan naiknya pengeluaran subsidi bahan bakar bagi Indonesia. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat dalam enam dari tujuh tahun terakhir subsidi untuk bahan bakar selalu melampaui alokasi anggaran. Pengeluaran untuk subsidi bahan bakar seharusnya dapat digunakan untuk program perlindungan sosial atau pembangunan infrastruktur. Saat peluncuran laporan, Chatib Basri, anggota Komite Ekonomi Nasional Presiden, mengungkapkan kekhawatiran bahwa naiknya harga minyak juga bisa memicu keluarnya modal dari Indonesia, terutama penjualan Surat Utang Negara.
Laporan ini juga menyoroti naiknya kelas menengah di Indonesia. Antara tahun 2003 hingga 2010, setiap tahunnya sekitar tujuh juta orang berhasil naik dari katergori miskin ke kelas menengah, yang didefinisikan sebagai masyarakat yang pengeluarnnya antara US$ 2-20 per hari. Shubham menjelaskan bahwa Indonesia akan diuntungkan dengan bertambahnya kelas menengah karena adanya tuntuan pelayanan publik yang lebih bermutu, seperti dalam bidang kesehatan dan pendidikan tinggi. Ia menambahkan, “Akan diperlukan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan baru penduduk kelas menengah yang akhirnya akan membawa manfaat bagi penduduk secara umum.”Sementara menurut Mohamad Ikhsan, penasihat khusus Wakil Presiden, kelas menengah akan mengubah bentuk formulasi kebijakan di masa depan.